Lagu Indonesia Raya Jadi Ladang Duit? Kok Gak Enak Didengar!

Hanya Ilustrasi Jika Terjadi


POV.Rakyat - Kaget, tapi kok terasa masuk akal. Hakim MK Arief Hidayat tiba-tiba nyeletuk soal royalti lagu. Katanya, kalau UU Hak Cipta itu diartikan secara harfiah, maka WR Supratman bakal jadi orang terkaya di Indonesia. Bayangin, lagu "Indonesia Raya" kita nyanyiin dari SD sampai upacara 17 Agustus, dari Paud sampai Istana Negara. Menurut survei internal kami, 8 dari 10 warga yang kami tanya mengangguk setuju dengan pernyataan ini, sambil tersenyum kecut.

"Masak iya sih, Pak, lagu kebangsaan kita dijadiin ladang duit? Rasanya kok gimana gitu ya," kata Ibu Marni, pemilik warung nasi uduk, yang tiap pagi dengerin lagu Indonesia Raya dari sekolah sebelah. "Itu kan lagu kebanggaan, bukan lagu buat cari untung. Lagian, almarhum kan bikinnya buat bangsa, bukan buat keluarganya kaya."

Gotong Royong Dibarter Individualisme?

Hakim Arief Hidayat menegaskan, penciptaan lagu di Indonesia itu punya fungsi sosial. Dulu, banyak karya yang anonim. Itu budaya kita, budaya gotong royong. Tapi, sekarang? Tiba-tiba semua serba dihitung pakai uang. Kalau dulu bikin lagu untuk bangsa, sekarang bikin lagu untuk rekening bank. Ini bukan soal karya jadi komoditas, tapi tentang nilai luhur yang mulai pudar. Ibaratnya, kita lagi panen raya, tapi semua hasil panennya harus bayar ke pemilik lahan, padahal itu tanah kita sendiri.

"Lah, kalau kayak gitu, lagu 'Halo-Halo Bandung' juga harus bayar dong ya kalau dinyanyiin pas lomba Agustusan?" tanya Pak Anto, tukang ojek yang lagi nunggu penumpang. Dia tertawa, tapi suaranya menyimpan sindiran. Ini bukan cuma soal WR Supratman, tapi soal bagaimana cara kita melihat sebuah karya: Apakah itu sebagai milik bersama, atau cuma milik individu?

Jadi, Harga Sebuah Karya Lebih Mahal dari Fungsinya?

Perdebatan ini muncul lagi. Tentang hak ciptaroyalti, dan nilai sosial. Di satu sisi, pencipta harus dapat apresiasi finansial. Di sisi lain, ada karya yang nilainya jauh lebih besar dari sekadar uang. Kalau penafsiran hukum kita sekarang condong ke individualisme dan kapitalisme, lalu di mana letak budaya gotong royong yang selalu kita banggakan? Jangan-jangan, lagu "Dari Sabang Sampai Merauke" besok juga harus bayar royalti kalau kita nyanyi di perjalanan?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak