Rakyat Minta Mundur, Bupati Pati Bilang "Nggak Bisa"?



POV.Rakyat - Pati lagi panas. Ratusan warga demo di depan kantor bupati, teriak-teriak minta Bupati Sudewo mundur. Pemicunya? Awalnya soal kenaikan pajak PBB yang bikin geger, walau akhirnya dibatalkan. Tapi gejolak ini kayak api yang sudah telanjur nyala. Data menunjukkan, 90% aduan yang masuk ke DPRD Pati seputar kebijakan bupati yang dianggap tidak pro-rakyat. Salah satu massa, Pak Maman, pedagang kecil, bilang, "Bupati bilang dipilih rakyat, lha sekarang rakyatnya minta mundur kok nggak didenger? Pilihannya kan cuma dua: dengerin rakyat atau bupati lain?"

Dari Kenaikan Pajak Sampai Gas Air Mata

Puncak kekesalan warga memicu demo yang ricuh. Massa memaksa masuk, lempar botol, dan polisi sampai menembakkan gas air mata. Kota yang adem ayem ini tiba-tiba seperti medan perang. Tapi respons bupati? Beliau bilang ini "pembelajaran" dan minta rakyat "jaga soliditas." Ibaratnya, rumah kebakaran, dia malah suruh penghuninya buat akur dan jangan berantem. Padahal, api di dalam rumah itu belum padam.

Di sisi lain, DPRD Pati udah sehati. Mereka sepakat membentuk hak angket dan pansus pemakzulan. Ini sinyal keras lho. Fraksi Gerindra bilang hak angket ini biar pemerintah transparan. Fraksi PKB juga bilang bupati tidak berpihak sama masyarakat. Semua kompak. Kecuali, satu. Bupati Sudewo.

Siapa yang Paling Merasa 'Pati Milik Semua'?

Bupati bilang "Pati ini adalah milik semuanya." Betul, Pak. Tapi sepertinya yang merasa memiliki itu rakyat, bukan pejabatnya. Karena kalau semua merasa memiliki, harusnya kebijakan yang dibuat tidak bikin rakyat jadi panas dan turun ke jalan. Apalagi sampai bikin demo ricuh dan jadi tontonan nasional. Jadi, ketika bupati bilang tak bisa mundur karena konstitusional, apakah itu artinya rakyat yang minta beliau mundur itu tidak konstitusional? Dan yang lebih penting, ketika rakyat sudah tidak percaya, apakah kursi kekuasaan itu masih punya makna?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak