Laporan bertajuk "Mengakar atau Menyebar?: Peta Gerakan Masyarakat Sipil Indonesia di Masa Kemunduran Demokrasi" ini mengungkapkan sebuah kontradiksi besar yang sedang terjadi di jantung aktivisme Indonesia.
Dua Wajah Gerakan: Si Profesional dan Si Organik
Riset ini memetakan adanya dua kelompok besar OMS di Indonesia saat ini:
OMS Institusional: Ini adalah OMS yang kita kenal sebagai LSM atau NGO. Mereka punya struktur formal, kantor, staf tetap, dan program kerja yang terencana. Pendanaan mereka seringkali berasal dari donor internasional dan lembaga pembangunan.
OMS Organik/Non-Institusional: Kelompok ini lebih cair, berbentuk jaringan atau kolektif informal. Gerakan mereka seringkali spontan, situasional, dan digerakkan oleh relawan untuk mengorganisir aksi di tingkat tapak.
Menariknya, kedua tipe OMS ini jarang berinteraksi satu sama lain. OMS institusional cenderung lebih dekat dengan lembaga pemerintah, sementara OMS organik lebih terhubung langsung dengan komunitas akar rumput.
Paradoks Pengaruh: Tajam di Isu Gender, Tumpul di Hadapan Oligarki
Di sinilah letak kontradiksi utamanya. Riset ini menemukan bahwa OMS di Indonesia menunjukkan keberhasilan signifikan dalam mendorong isu-isu yang tidak dikuasai langsung oleh elit ekonomi-politik. Contoh suksesnya adalah pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU Disabilitas.
Namun, di sisi lain, ketika berhadapan dengan sektor yang didominasi elit kuat—seperti pertambangan, kelapa sawit, dan perubahan fungsi lahan—pengaruh OMS menjadi sangat terbatas. OMS lokal yang melawan industri ekstraktif bahkan menghadapi risiko keamanan yang lebih tinggi.
Dilema Profesionalisme: Jago Bikin Laporan, Lupa Mengakar?
Mengapa ini terjadi? Laporan ini menunjuk pada fenomena "teknikalisasi" dan "depolitisasi".
Teknikalisasi: Tuntutan dari para donor membuat banyak OMS institusional sangat sibuk dengan urusan administrasi, pelaporan, dan manajemen proyek yang profesional. Kapasitas akuntabilitas dan transparansi mereka memang meningkat , namun energi mereka tersedot untuk memenuhi target program, bukan lagi untuk konsolidasi gerakan.
Depolitisasi: Akibatnya, koneksi OMS dengan basis massa di akar rumput melemah. Kesibukan mengurus proyek juga menyulitkan koordinasi antar-OMS, sehingga sulit membangun agenda politik bersama yang solid.
Harapan dari Gelombang Baru: Politik 'Rizoma' Anak Muda
Di tengah tantangan tersebut, muncul secercah harapan dari gerakan orang muda. Riset ini menyoroti lahirnya ruang politik pro-demokrasi baru di media digital, yang digerakkan oleh mahasiswa, pelajar, dan anak muda kelahiran pasca-Reformasi.
Gerakan anak muda ini punya karakteristik unik:
Model Organisasi Rizomatik: Struktur mereka lebih cair, horizontal, dan berjejaring, memungkinkan mobilisasi yang cepat dan fleksibel.
Andalkan Teknologi Digital: Media sosial menjadi tulang punggung untuk koordinasi, penyebaran informasi, hingga mobilisasi massa. Sekitar 87% responden survei dari kalangan siswa SMK bahkan mengaku pertama kali terlibat aktivisme melalui platform digital.
Pendanaan Mandiri: Mereka bergerak dengan iuran anggota atau crowdfunding, memberi otonomi politik yang lebih besar dan bebas dari beban pelaporan ke donor.
Gerakan seperti #ReformasiDikorupsi (2019) dan protes UU Cipta Kerja adalah bukti kemampuan mobilisasi mereka yang masif dan cepat. Mereka berhasil menjangkau audiens yang lebih luas dan membawa perspektif baru seperti feminisme digital dan keadilan iklim ke dalam diskursus publik.
Kesimpulan: Laporan dari ARC UI dan POLGOV UGM ini menjadi pengingat penting. Di satu sisi, OMS profesional memiliki pengalaman dan kapasitas manajerial yang kuat. Di sisi lain, energi baru demokrasi datang dari gerakan anak muda yang lincah dan organik. Tantangan terbesarnya kini adalah bagaimana menjembatani kedua dunia ini agar api demokrasi di Indonesia tetap menyala kuat.
