Internet Dimatikan, Suara Rakyat Dinyalakan: Drama Nepal Ngeri!

Nepal lagi dilanda gelombang protes besar-besaran yang dipimpin oleh Gen Z! Pemicunya bukan cuma soal harga beras, tapi masalah klasik: korupsi, nepotisme, dan tata kelola pemerintah yang amburadul. Data menunjukkan, ribuan anak muda tumpah ruah di jalanan. "Kita udah muak, hidup susah, lihat pejabat malah enak-enakan," keluh seorang mahasiswa yang tak mau disebutkan namanya. 

Tapi, yang paling bikin panas, pemerintah malah memblokir 26 platform medsos populer! Ini kayak lagi ada masalah di rumah, eh orang tuanya bukannya nyari solusi malah matiin lampu. Kan gelap semua!

​Medsos Diblokir, Tapi Suara Rakyat Nggak Bisa Disensor
​Pemerintah Nepal bilang pemblokiran ini demi "ketertiban publik." Lucu ya. Niatnya mau meredam suara, eh malah bikin makin marah. Ribuan anak muda yang tadinya cuma teriak-teriak di Twitter, sekarang beneran turun ke jalan, teriak-teriak di depan mata. Dampaknya? Rusuh! Ada 19 nyawa melayang dan lebih dari 100 orang terluka sebelum akhirnya pemerintah mencabut kebijakan konyolnya.

​Ini jadi tamparan keras. Pemerintah mengira memblokir medsos itu semudah mematikan keran air. Padahal, medsos itu sekarang udah jadi "suara" rakyat. Kalau disumbat, suaranya bakal meledak di tempat lain. Awalnya cuma protes, sekarang jadi nyawa melayang. Apakah pemerintah Nepal sadar kalau mereka lagi main-main dengan api?

​Kalau Medsos Saja Bisa Bikin Nyawa Melayang, Ada Apa dengan Demokrasi?
​Kejadian di Nepal ini jadi cermin buat kita semua. Betapa rapuhnya sebuah negara kalau pemerintahnya lebih takut sama tagar daripada sama tuntutan rakyat. Kalau media sosial saja bisa memicu amarah sedahsyat itu, itu bukan salah platformnya. Itu salah pemerintahnya yang gagal mendengarkan. 

Jadi, apakah betul kebebasan berekspresi itu bisa dibungkam semudah menekan tombol off? Atau, apakah ada harga yang jauh lebih mahal yang harus dibayar ketika sebuah negara mencoba membisukan rakyatnya sendiri?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak