Jakarta lagi-lagi mencekam. Tiga demo besar, puncaknya di akhir Agustus yang disebut "Agustus Kelabu." Awalnya, pemicunya soal ekonomi, tapi semua meledak pas ojol bernama Afan Kurniawan meninggal ditabrak Barracuda. Tragedi ini jadi bensin buat api amarah rakyat yang udah memanas. Data dari kanal media kami menunjukkan, 9 dari 10 warga yang melihat aksi ini di media sosial merasa bahwa pemerintah terlihat kebingungan dan gagal meredam amarah publik. "Kita cuma teriak, minta hidup lebih baik. Eh, malah ada yang meninggal. Terus pemerintah kayak nggak tahu mau ngapain," keluh Budi, seorang pekerja swasta.
Ada Jaket Putih, Drone, dan Kembang Api: Ini Demo atau Film Spy?
Ternyata, ada yang aneh dari demo ini. Menurut laporan, ada pola di antara perusuh. Mereka pakai jaket hoodie putih, muncul di beberapa lokasi, bawa bom molotov, bahkan hancurin CCTV. Ada juga yang pakai drone dan kembang apibuat koordinasi. Kayak lagi syuting film aksi, tapi nyawanya asli! Ini bikin kita mikir, apa ini benar-benar murni amarah rakyat atau ada yang sengaja merusak dari belakang? Terus, yang paling mengejutkan, ada tentara BAIS yang ketangkep polisi, katanya jadi admin grup provokasi. Ini demo atau perebutan kekuasaan, sih?
Di tengah kekacauan, Presiden Prabowo katanya terlihat tergagap-gagap. Responsnya unik: jenguk keluarga korban ojol sambil kasih duit, tapi juga kasih promosi jabatan impulsif ke polisi yang luka. Sementara itu, para menteri diminta buat stop pamer kekayaan di medsos. Jadi, masalahnya bukan di kebijakan yang bikin rakyat susah, tapi di "gaya hidup" yang kelihatan di Instagram?
Siapa Sebenarnya Dalang di Balik Panggung Ini?
Kejadian "Agustus Kelabu" ini jadi cermin: pemerintahan kita sedang dalam krisis. Ada perpecahan di dalam, perebutan kekuasaan, dan yang paling parah, rakyat jadi korban. Kenapa harus ada kekerasan terkoordinasi? Kenapa ada aparat yang diduga terlibat? Apakah ini cara untuk mengalihkan isu? Atau memang perpecahan di tubuh pemerintah sudah separah itu? Dan yang paling penting: sampai kapan rakyat harus jadi kambing hitam dari drama politik yang tidak ada habisnya?