Selamat datang di ‘Serakahnomics’, sebuah fenomena yang mungkin tanpa sadar sudah akrab dengan keseharian kita. Sebuah data mengejutkan pernah bilang, jumlah kekayaan segelintir orang super kaya di dunia ini bisa menandingi separuh populasi termiskin. Gila, kan?
Coba deh denger keluhan Ibu Tuti, pedagang warung kelontong di sudut kota, “Dulu mah harga sembako masih wajar. Sekarang? Tiap ke pasar, kaget terus. Untung tipis, mau naikkin harga, pelanggan kabur. Serba salah, Mas.” Testimoni kayak Ibu Tuti ini bukan cuma satu-dua lho. Ini suara mayoritas.
Kami, tim media yang lagi menyelami fenomena ini, jadi mikir. Apa iya ini yang namanya ekonomi? Atau justru ini cuma ‘Serakahnomics’, di mana nafsu cuan segelintir orang jadi Tuhan? Kenapa profit margin perusahaan gede terus naik, tapi upah pekerja jalan di tempat? Kenapa harga properti makin nggak masuk akal, sementara rakyat kebanyakan masih ngontrak seumur hidup?
Ketika Monopoli Jadi Raja, Kompetisi Cuma Guyonan
Coba bayangkan ini: kamu lagi main monopoli. Tapi, satu pemain udah beli semua petak bagus, bangun hotel di mana-mana. Sementara yang lain? Cuma bisa muter-muter, jatuh di petak orang itu terus, dan bayar sewa sampai duit habis. Nah, kira-kira begitulah wajah ‘Serakahnomics’ di lapangan. Persaingan sehat? Itu cuma dongeng pengantar tidur.
Perusahaan-perusahaan raksasa, dengan modal segede gaban, gampang banget ngelindes UMKM. Mereka bisa banting harga sampai UMKM kolaps, lalu kuasai pasar sendirian. Habis itu? Harga dinaikkan pelan-pelan. Siapa yang rugi? Konsumen, rakyat biasa. Apakah ini yang namanya efisiensi pasar? Atau justru pembantaian ekonomi?
“Anakku mau sekolah aja mikir berkali-kali bayar SPP. Katanya negara ini kaya raya. Tapi kok, buat yang kecil-kecil gini susahnya minta ampun ya,” keluh Bapak Budi, buruh pabrik yang sudah puluhan tahun mengabdi.
Suara Bapak Budi ini bukan drama. Ini realita. Sistem 'Serakahnomics' ini kayak labirin. Makin kita jalan, makin banyak pintu tertutup, kecuali buat mereka yang pegang kuncinya. Analoginya, ini bukan perlombaan lari, tapi perlombaan maraton di mana beberapa pelari sudah start dari garis finish dengan jetski, sementara yang lain masih pakai sendal jepit di garis awal.
Ujungnya Mau Ke Mana?
Jadi, kalau begini terus, kita mau dibawa ke mana? Apakah ketimpangan ini akan terus melebar sampai jurang antara yang punya dan yang tidak punya jadi jurang Mariana? Apa ini takdir? Atau ini hasil dari pilihan-pilihan kolektif yang kita biarkan terjadi?
Apakah ‘Serakahnomics’ ini memang tak terhindarkan? Atau justru, kita yang membiarkannya merajalela, sibuk dengan urusan masing-masing, sampai lupa kalau ‘game’ ini makin lama makin nggak adil?
TAGS: Serakahnomics, Ketimpangan Ekonomi, Ekonomi Politik, Kapitalisme, Keadilan Sosial, Rakyat Kecil, Krisis Ekonomi