Dengar istilah "LaZy Gen Z"? Kayaknya sudah jadi viral di mana-mana, ya. Seolah-olah, generasi Z ini cuma bisa rebahan, main TikTok, dan ogah kerja keras. Benar nggak sih? Kami coba selami, apa iya Gen Z ini cuma mageran, atau ada definisi produktivitas baru yang kita belum paham?
"Anak Sekarang Maunya Instan!"
Statistik bicara lain lho. Sebuah laporan dari LinkedIn menunjukkan, Gen Z adalah generasi paling berjiwa wirausaha. Mereka jauh lebih mungkin memulai bisnis sendiri ketimbang generasi sebelumnya. Tapi, kenapa stigma "LaZy" ini nempel terus?
Waktu kami ngobrol sama Pak Tejo, seorang manajer HR perusahaan manufaktur, dia langsung curhat, "Anak-anak sekarang, disuruh lembur dikit aja udah ngeluh. Padahal gaji lumayan lho! Dulu bapak kerja keras, pulang malam, baru bisa beli rumah. Mereka? Kerja dari kafe sambil ngopi, dibilang capek." Sebuah keluhan klasik, yang mungkin sebagian besar dari kita pernah dengar.
Mager itu Efisiensi, Bukan Malas?
Tapi, tunggu dulu. Apakah yang disebut "mager" itu benar-benar malas, atau justru efisiensi ala Gen Z? Fakta di lapangan menunjukkan, Gen Z sangat memprioritaskan work-life balance dan kesehatan mental. Deloitte bahkan menyebutkan 75% Gen Z rela pindah kerja demi keseimbangan ini. Ini bukan malas, ini namanya menentukan batas. Kalau burnout, kerjaan malah kacau, kan?
Kami sempat ngobrol dengan Rina, 24 tahun, seorang digital nomad yang kerja dari mana saja. "Mager? Kita ini bukan mager, tapi strategis," katanya sambil tersenyum. "Kenapa harus macet-macetan ke kantor kalau bisa remote kerja dari Bali, hasil tetap top? Mental health itu investasi, bukan alasan mager. Kalo burnout, kerjaan malah kacau." Logika yang masuk akal, bukan?
Sering dengar kan, Gen Z dibilang "LaZy"? Kayak virus baru yang bikin gampang rebahan. Tapi apa iya cuma rebahan? Mungkin mereka bukan mesin diesel yang harus dipanasin lama, tapi lebih kayak smartphone: sekali nyala, langsung ngebut, tapi butuh recharge cepat. Mereka kayak AI canggih: belajar cepat, adaptif, tapi butuh processing break biar nggak error.
Analoginya begini: orang dulu lihatnya mereka main HP terus, padahal lagi nge-bid proyek jutaan dolar dari kamar. Kayak ninja, bergerak dalam senyap. Atau mungkin, mereka itu seperti driver Go-Jek: tahu jalan pintas dan cara tercepat. Ngapain muter kalau bisa lurus?
- Fakta #1: Gen Z Paling Berjiwa Wirausaha
- Fakta #2: Prioritaskan Work-Life Balance
- Fakta #3: Rentan Burnout, Lebih Peduli Kesehatan Mental
Sindirannya halus tapi menusuk: Katanya rebahan, tapi followers Instagramnya jutaan, endorse numpuk. Mager kok omzetnya naik?
Jadi, Ini Mitos atau Masa Depan?
Fenomena "LaZy" ini bisa jadi cuma permukaan doang. Kita melihat mereka rebahan, tapi lupa mereka mungkin sedang mengelola kerajaan digital. Kita melihat mereka "ogah lembur", tapi mereka justru mencari cara kerja yang lebih efektif dan efisien.
Apakah kita, para "senior" ini, siap menerima definisi produktivitas yang baru? Atau terus ngeluh sambil ngopi pahit? Jangan-jangan, masa depan kerja sudah di sini, tapi kita masih sibuk mencari definisi "rajin" di kamus lama?
TAGS: Generasi Z, LaZy, Produktivitas, Budaya Kerja, Work-Life Balance, Stereotip, Mental Health, Anak Muda